Buy Now! Documentation

Breaking News

1 Mei Bukan Hari Libur Biasa: Ini Teriakan Buruh yang Terus Dibungkam


Citrahukum.com ( Spesial Hari Buruh )
Oleh: Nazir Ansori

“Keringat buruh menyuburkan negeri, tapi hak mereka layu dalam sistem yang timpang.”

Setiap 1 Mei, jalanan penuh poster. Orasi menggelegar. Polisi berbaris siaga. Tapi di balik ritual tahunan itu, ada pertanyaan besar yang seharusnya lebih nyaring dari toa: Apa kabar buruh Indonesia hari ini? Dan lebih penting lagi, siapa yang peduli?

Apa yang terjadi setiap Hari Buruh?
Upacara simbolik. Janji-janji normatif. Tapi kenyataan tetap sama: buruh dibayar murah, kerja tak menentu, dan diancam PHK kapan saja.

Tak hanya buruh pabrik. Buruh digital seperti ojek online, kurir aplikasi, hingga pekerja freelance. Mereka semua buruh—tanpa jaminan kesehatan, tanpa cuti, tanpa perlindungan hukum.

Ketika negara lebih ramah pada investor daripada rakyat pekerja. Sejak lahirnya regulasi-regulasi seperti UU Cipta Kerja, yang lebih banyak menghapus hak daripada memperjuangkannya.

Di mana ketimpangan paling terlihat?
Di sektor-sektor yang jarang disorot:

Buruh perempuan yang tak dapat hak cuti melahirkan

Buruh pertanian yang kerja dari fajar sampai gelap tanpa BPJS

Penyandang disabilitas yang ditolak kerja karena dianggap "tidak produktif"

Buruh digital yang dipecat sistem karena algoritma

Karena suara buruh dibungkam lewat sistem. Serikat dibubarkan. Aktivis dipecat. Dan isu-isu seperti kesehatan mental buruh dianggap tak penting. Semua dianggap normal, selama produksi jalan dan angka pertumbuhan naik.

Bagaimana seharusnya kita memperingati 1 Mei?
Dengan keberanian. Dengan menolak lupa. Dengan menyuarakan kembali hak-hak dasar yang digerus zaman: upah layak, status kerja tetap, jam kerja manusiawi, jaminan sosial, perlindungan hukum, dan ruang berserikat

Isu Besar yang Selalu Dilewatkan

1. Buruh Digital: Manusia atau Algoritma?
Kerja keras ojek online dan kurir tak diakui sebagai hubungan kerja. Mereka dibilang "mitra", padahal tak bisa tawar-menawar. Sekali rating turun, akun bisa ditutup. Ini eksploitasi bergaya digital.

2. Serikat Dibungkam Diam-Diam
Union busting merajalela. Banyak buruh takut berserikat karena tahu konsekuensinya: intimidasi, pemindahan paksa, atau dipecat.

3. Buruh Perempuan: Bekerja Sambil Bertahan dari Diskriminasi
Tak ada ruang aman. Mulai dari upah yang lebih kecil, beban ganda, hingga pelecehan yang dibiarkan terjadi di pabrik maupun kantor.

4. Pengangguran dan Minimnya Lapangan Kerja Layak
Jutaan lulusan baru menganggur. Sementara lowongan yang tersedia kebanyakan tidak sesuai kompetensi, tidak manusiawi, dan tidak memberi masa depan.

5. Buruh Pertanian: Tulang Punggung yang Terlupakan
Mereka panen padi dan sawit, tapi tak punya jaminan pensiun. Tak ada yang memperjuangkan nasib mereka, karena tak masuk statistik industri formal.

6. Kesehatan Mental Buruh: Isu yang Diabaikan Total
Target tinggi, lembur terus-menerus, ketakutan akan PHK—semua menggerogoti jiwa buruh. Tapi siapa yang peduli? Pekerja dianggap mesin, bukan manusia.

Penutup: Hari Buruh Bukan Hari Hura-Hura

1 Mei bukan hari hiburan. Ini hari perjuangan. Hari di mana suara buruh harus lebih keras dari peluit aparat. Hari di mana kita tak hanya mengenang perjuangan buruh masa lalu, tapi melanjutkan nyala api perlawanan itu.

Selama masih ada buruh yang diperlakukan seperti budak, selama masih ada perut lapar di balik seragam kerja, selama itu pula peringatan Hari Buruh adalah panggilan untuk melawan.

Negara boleh merayakan pertumbuhan ekonomi. Tapi buruh ingin dirayakan sebagai manusia, bukan sebagai alat produksi.(Nazir)
Penyunting berita (Fadila)


#HariBuruh2025
#1MeiBukanHariLiburBiasa
#BuruhBukanBudak
#KerjaLayakHakRakyat
#JanganBungkamSuaraBuruh
#RevolusiTenagaKerja
#LindungiBuruhDigital
#BuruhPerempuanBersuara
#HapusUnionBusting
#KesehatanMentalBuruh

0 Komentar